Jumat, 23 Desember 2016

BUTET MANURUNG DAN SOKOLA RIMBANYA

BUTET MANURUNG DAN SOKOLA RIMBANYA

Wanita kurus yang sudah berjuang kurang lebih 14 tahun di pelosok rimba Indonesia yang rela meninggalkan gemerlap serta hiruk pikuk Kota Jakarta dan memiliki misi untuk mengentaskan buta huruf bagi anak-anak orang rimba. Wanita yang juga sudah menikah dengan pria kebangsaan Australia dan memiliki seorang anak ini begitu amat menginspirasi bagi generasi muda untuk melakukan gerakan nyata melahirkan generasi-generasi Indonesia berpendidikan,
Iya, wanita itu adalah Saur Marlina Manurung yang biasa dikenal Butet Manurung. Wanita kelahiran Jakarta, 21 Februari 1972 merupakan sesosok wanita hebat yang mau masuk ke pedalaman hutan untuk menjadi guru bagi anak-anak orang rimba yang pada dasarnya tidak pernah mencicipi bangku pendidikan. Wanita yang sangat luar biasa ini memiliki dua gelar kesarjanaan, yaitu Sastra Indonesia dan Antropologi dari Universitas Padjajaran. Menyelesaikan pendidikan master di jurusan Antropologi Terapan, Butet Manurung melanjutkan studinya di Australian National University bidang Pembangunan Partisipatif pada tahun 2012. Ia juga mengikuti kursus Global Leadership and Public Policy di Harvard Kennedy School, Universitas Harvard, Amerika Serikat.
Wanita lulusan Havard University ini memiliki segudang prestasi, seperti Woman of the Year bidang pendidikan di tahun 2004, Hero of Asia Award by Time Magazine 2004, Kartini Indonesia Award 2005, dan masih banyak lagi. Selain itu,  baru-baru ini di tahun 2014 Butet memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay Award di Filipina atas semangatnya untuk melindungi dan mengembangkan kehidupan masyarakat rimba di Indonesia.
Butet lahir dari keluarga yang berada, namun hal itu tidak menjadikan dirinya manja. Akan tetapi ia tumbuh menjadi gadis yang tangguh dan tidak manja, ia menjadi gadis pecinta alam yang pernah menyambangi Puncak Trikora, Gua Wikeda di Wameda, Gua Maros, Halmahera, Ujungkulon, Banten, Timor, hingga NTT. Gadis pecinta alam ini pernah bekerja sebagai pemandu wisata di Taman Nasional Ujung Kulon dan kemudian keluar dari pekerjaannya tersebut dengan alasan bosan.   Hingga pada akhirnya, pada tahun 1999 ia memutuskan untuk menjadi relawan pendidikan WARSI (Warung Informasi Konservasi), sebauh LSM yang konsen terhadap isu konservasi hutan di Sumatera. Gadis pecinta alam ini merupakan gadis yang terketuk hatinya ketika melihat orang rimba di pedalaman Jambi. Di mana suku Rimba Jambi dikenal sebagai suku yang miskin, primitive, dan bodoh sehingga menjadi sasaran empuk penipuan oleh orang kota. Orang-orang kota menulis perjanjian di atas kertas, lalu meminta cap jempol orang Rimba yang tidak bisa baca – tulis sehingga mereka tidak tahu bahwa isinya adalah surat perjanjian untuk menjual hutan dan tanah mereka. Orang-orang terkadang menipu orang Rimba ketika menjual hasil hutan di pasar, timbangan lima kilo dikatakan tiga kilo, timbangan tiga kilo dikatakan sekilo. Seketika itu pula Butet terdiam dan merenung, hingga akhirnya ia hatinya semakin tergerak untuk melakukan sesuatu.
 Setelah empat tahun menjadi relawan pendidikan di bawah naungan WARSI, Butet memutuskan untuk keluar dan berjuang sendiri. Tahun 2003 ia mendirikan ‘Sokola Rimba’. Butet Manurung rela tinggalkan gemerlap Jakarta demi Sokola Rimba. Sokola Rimba merupakan suatu sekolah yang dibangun untuk Suku Anak Dalam (orang rimba) di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi.
Sokola Rimba yang dibangun bukanlah sekolah formal seperti layaknya sekolah yang ada di masyarakat yang berbentuk bangunan bertembok dan beratap. Akan tetapi hanya gubuk-gubuk kecil yang bersifat nomaden (berpindah-pindah) yang dibangun dari batang kayu dan dedaunan. Kali pertama Butet mengajar di pedalaman Jambi, tidak serta merta diterima oleh orang Kubu (suku Rimba). Ia mengalami beberapa penolakan dari orang Kubu, hal ini dikarenakan bahwa orang rimba merasa tak butuh baca tulis. Mereka takut, jika pendidikan yang akan diajarkan oleh Butet Manurung ini akan merubah adat istiadat mereka.
Butet pernah sempat merasakan putus asa karena penolakan yang ditunjukkan oleh suku Rimba kepadanya. Ujian terberat bagi seorang wanita hebat ini adalah ketika ia harus berusaha untuk mengenalkan pendidikan pada orang Kubu. Ia merasa ada yang salah dengan proses pengenalan pendidikannya. Karena anak-anak Rimba itu tidak terbiasa untuk duduk berdiam, mereka lebih senang untuk duduk-duduk di atas pohon, bergelantunagn tanpa harus  diatur oleh sebuah ikatan, hal iti dikarenakan kegiatan bergelantungan di pohon adalah bagian kebudayaan dari mereka. Begitu pula dengan sekolah yang mereka bangun hingga akhirnya dibongkar oleh orang-orang suku Rimba untuk digunakan sebagai kayu bakar. Sebab bagi mereka rumah itu adalah sebuah kandang. Bagi mereka 60.000 hektar tanah itu adalah milik mereka. Namun kemudian, wanita yang telah menikah dengan pria kebangsaan Australia ini sadar, bahwa mungkin caranya terlalu memaksa dan salah. Suku Rimba butuh diyakinkan, bukan dipaksa. Mereka hanya takut dan belum mengerti, bukan berarti mereka bodoh dan tidak mau. Mereka hanya butuh kepastian bahwa apa yang akan mereka terima itu baik.
Namun, Butet tetap berusaha untuk melakukan pendekatan kepada kelompok orang Kubu dengan berpondasikan kesabaran dan kreativitas tinggi. Sejak saat itulah wanita hebat ini mulai belajar dan mengenal kebiasaan Suku Rimba, ia rajin mengamati dan mengikuti keseharian mereka. Ia tinggal bersama mereka, tinggal ditempat yang sama, makan apa yang merka makan, bertelanjang kaki dan merasakan gelinya lumpur serta tanah yang menempel di telapak kaki, mengenaikan kain sebagai pakaian sehari-harinya.
Perjuangannya pun tak sia-sia untuk mengajarkan anak-anak rimba baca – tulis, life skills, pengetahuan dunia luar, dan juga pengenalan organisasi. Bagaimana tidak, masuk dalam kehidupan Suku Rimba tentu buka  sesuatu yang mudah baginya. Hidup di alam terbuka yang mana ketika tidur hanya beralaskan akar, menyusuri rawa atau sungai yang membuatnya ketakutan akan lintah yang menempel di tubuhnya, ketika malam dating kegelapan serta kesunyian danau di malam hari bagaikan scene film horror, harus dikejar-kejar oleh beruang dan untuk menyelamatkan dirinya ia harus naik pohon namun Butet tidak bisa menaiki pohon sampai pada akhirnya ia dibantu dengan anak-anak rimba yang diajarnya untuk mendorong naik ke atas pohon dan membantu menghadang beruang mendekatinya. Harus rela terjangkit malaria selamanya ketika telah digigit oleh nyamuk malaria, ya walau memang sudah diberikan suntikan terlebih dahulu sebelum mengentaskan buta huruf tersebut.
Hingga akhirnya kini anak-anak suku Rimba yang dulu mereka hanya diam ketika terjadi pembalakan liar, kimi mereka dapat memperingati pembalakan liar dengan hokum dan sudah tahu harus melapor ke mana jika terjadi tindak criminal, semula ketika orang kota dating untuk meminta cap jempol mereka dan tanpa mereka ketahui bahwa isinya adalah perjanjian penjualan tanah, kini anak-anak suku Rimba dapat membaca isi tulisan yang tertera pada kertas tersebut. Mereka bukan orang yang bodoh, mereka benar-benar belajar dengan sungguh-sungguh.
Sembilam  tahun lamanya ia menyusuri pedalaman rimba dan menikmati perannya tersebut di Sokola Rimba. Banyak hal yang ia dapat dari orang-orang Rimba itu, seperti bertahan hidup di hutan, berburu, mencintai alam, dan masih banyak lagi. Hingga akhirnya, ia keluar dan kembali ke ibukota dengan senyum dan kebanggaan. Ia pun menjadi inspirasi beberapa relawan yang akhirnya bergabung dalam yayasannya, dan hingga kini ia masih meneruskan perjuangannya. Ia tak pernah lupa bagaimana beruang membuatnya ketakutan, bagaimana mimpi buruk menghantuinya, bagaimana jantungnya berdegup kencang setiap malam karena takut ada hewan buas menyerangnya. Namun ia tak ingin berhenti mewujudkan impiannya, bukan lintah, beruang, harimau atau ular yang akan menghentikan impiannya, bahkan bukan juga kematian. "Gak keren mati tidak ada yang mengenang," kata Butet itulah sepenggal semangat Butet.
Setelah keberhasilannya mengajarkan baca – tulis serta pengetahuan advance kepada anak-anak Rimba di Sokola Rimba Jambi, saat ini Butet lebih banyak melakukan pelatihan, bergerak di luar masyarakat adat. Butet sebagai salah satu mentor, selain melakukan pelatihan dan penggalangan dana tetapi juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kantor di Jakarta sambil sekitar 1-2 bulan per semester pergi ke lapangan.
Kini Sokola Rimba tersebut telah menjadi sebuah organisasi yang sudah berjalan selama kurang lebih 14 tahun lamanya, dan kini terus melebarkan sayapnya. Tidak hanya untuk mengentaskan buta huruf di pedalaman Jambi pada suku Kubu. Kini dengan adanya visi yang begitu besar Sokola Rimba membuat tempat-tempat paling terpencil di Indonesia bisa membaca, menulis, dan berhitung terus dikembangkan. Jambi, Makasar, Flores, Halmahera, Bulukumba, Sekolah Pasca Bencana, Aceh, Yogyakarta, Klaten, Kampung dukuh telah tersentuh Sokola yang unik dan sederhana ini.


1 komentar: