BUTET MANURUNG DAN SOKOLA RIMBANYA
Wanita
kurus yang sudah berjuang kurang lebih 14 tahun di pelosok rimba Indonesia yang
rela meninggalkan gemerlap serta hiruk pikuk Kota Jakarta dan memiliki misi
untuk mengentaskan buta huruf bagi anak-anak orang rimba. Wanita yang juga
sudah menikah dengan pria kebangsaan Australia dan memiliki seorang anak ini
begitu amat menginspirasi bagi generasi muda untuk melakukan gerakan nyata
melahirkan generasi-generasi Indonesia berpendidikan,
Iya, wanita itu adalah Saur Marlina
Manurung yang biasa dikenal Butet Manurung. Wanita kelahiran Jakarta, 21
Februari 1972 merupakan sesosok wanita hebat yang mau masuk ke pedalaman hutan
untuk menjadi guru bagi anak-anak orang rimba yang pada dasarnya tidak pernah
mencicipi bangku pendidikan. Wanita yang sangat luar biasa ini memiliki dua
gelar kesarjanaan, yaitu Sastra Indonesia dan Antropologi dari Universitas
Padjajaran. Menyelesaikan pendidikan master di
jurusan Antropologi Terapan, Butet Manurung melanjutkan studinya di
Australian National University bidang Pembangunan Partisipatif pada tahun
2012. Ia juga mengikuti kursus Global
Leadership and Public Policy di Harvard Kennedy School, Universitas
Harvard, Amerika Serikat.
Wanita lulusan Havard University ini
memiliki segudang prestasi, seperti Woman
of the Year bidang pendidikan di tahun 2004, Hero of Asia Award by Time Magazine 2004, Kartini Indonesia Award
2005, dan masih banyak lagi. Selain itu, baru-baru ini di tahun 2014 Butet memperoleh
penghargaan Ramon Magsaysay Award di Filipina atas semangatnya untuk melindungi
dan mengembangkan kehidupan masyarakat rimba di Indonesia.
Butet lahir dari keluarga yang berada,
namun hal itu tidak menjadikan dirinya manja. Akan tetapi ia tumbuh menjadi
gadis yang tangguh dan tidak manja, ia menjadi gadis pecinta alam yang pernah
menyambangi Puncak Trikora, Gua Wikeda di Wameda, Gua Maros, Halmahera,
Ujungkulon, Banten, Timor, hingga NTT. Gadis pecinta alam ini pernah bekerja
sebagai pemandu wisata di Taman Nasional Ujung Kulon dan kemudian keluar dari
pekerjaannya tersebut dengan alasan bosan.
Hingga pada akhirnya, pada tahun
1999 ia memutuskan untuk menjadi relawan pendidikan WARSI (Warung Informasi
Konservasi), sebauh LSM yang konsen terhadap isu konservasi hutan di Sumatera.
Gadis pecinta alam ini merupakan gadis yang terketuk hatinya ketika melihat
orang rimba di pedalaman Jambi. Di mana suku Rimba Jambi dikenal sebagai suku
yang miskin, primitive, dan bodoh sehingga menjadi sasaran empuk penipuan oleh
orang kota. Orang-orang kota menulis perjanjian di atas kertas, lalu meminta
cap jempol orang Rimba yang tidak bisa baca – tulis sehingga mereka tidak tahu
bahwa isinya adalah surat perjanjian untuk menjual hutan dan tanah mereka.
Orang-orang terkadang menipu orang Rimba ketika menjual hasil hutan di pasar,
timbangan lima kilo dikatakan tiga kilo, timbangan tiga kilo dikatakan sekilo.
Seketika itu pula Butet terdiam dan merenung, hingga akhirnya ia hatinya
semakin tergerak untuk melakukan sesuatu.
Setelah empat tahun menjadi relawan pendidikan
di bawah naungan WARSI, Butet memutuskan untuk keluar dan berjuang sendiri.
Tahun 2003 ia mendirikan ‘Sokola Rimba’. Butet Manurung rela tinggalkan
gemerlap Jakarta demi Sokola Rimba. Sokola Rimba merupakan suatu sekolah yang
dibangun untuk Suku Anak Dalam (orang rimba) di Taman Nasional Bukit Duabelas
(TNBD), Jambi.
Sokola Rimba yang dibangun bukanlah
sekolah formal seperti layaknya sekolah yang ada di masyarakat yang berbentuk bangunan
bertembok dan beratap. Akan tetapi hanya gubuk-gubuk kecil yang bersifat
nomaden (berpindah-pindah) yang dibangun dari batang kayu dan dedaunan. Kali
pertama Butet mengajar di pedalaman Jambi, tidak serta merta diterima oleh
orang Kubu (suku Rimba). Ia mengalami beberapa penolakan dari orang Kubu, hal
ini dikarenakan bahwa orang rimba merasa tak butuh baca tulis. Mereka takut,
jika pendidikan yang akan diajarkan oleh Butet Manurung ini akan merubah adat
istiadat mereka.
Butet pernah sempat merasakan putus asa
karena penolakan yang ditunjukkan oleh suku Rimba kepadanya. Ujian terberat
bagi seorang wanita hebat ini adalah ketika ia harus berusaha untuk mengenalkan
pendidikan pada orang Kubu. Ia merasa ada yang salah dengan proses pengenalan
pendidikannya. Karena anak-anak Rimba itu tidak terbiasa untuk duduk berdiam,
mereka lebih senang untuk duduk-duduk di atas pohon, bergelantunagn tanpa harus
diatur oleh sebuah ikatan, hal iti
dikarenakan kegiatan bergelantungan di pohon adalah bagian kebudayaan dari
mereka. Begitu pula dengan sekolah yang mereka bangun hingga akhirnya dibongkar
oleh orang-orang suku Rimba untuk digunakan sebagai kayu bakar. Sebab bagi
mereka rumah itu adalah sebuah kandang. Bagi mereka 60.000 hektar tanah itu
adalah milik mereka. Namun kemudian, wanita yang telah menikah dengan pria
kebangsaan Australia ini sadar, bahwa mungkin caranya terlalu memaksa dan
salah. Suku Rimba butuh diyakinkan, bukan dipaksa. Mereka hanya takut dan belum
mengerti, bukan berarti mereka bodoh dan tidak mau. Mereka hanya butuh
kepastian bahwa apa yang akan mereka terima itu baik.
Namun, Butet tetap berusaha untuk
melakukan pendekatan kepada kelompok orang Kubu dengan berpondasikan kesabaran
dan kreativitas tinggi. Sejak saat itulah wanita hebat ini mulai belajar dan
mengenal kebiasaan Suku Rimba, ia rajin mengamati dan mengikuti keseharian
mereka. Ia tinggal bersama mereka, tinggal ditempat yang sama, makan apa yang
merka makan, bertelanjang kaki dan merasakan gelinya lumpur serta tanah yang
menempel di telapak kaki, mengenaikan kain sebagai pakaian sehari-harinya.
Perjuangannya pun tak sia-sia untuk
mengajarkan anak-anak rimba baca – tulis, life
skills, pengetahuan dunia luar, dan juga pengenalan organisasi. Bagaimana
tidak, masuk dalam kehidupan Suku Rimba tentu buka sesuatu yang mudah baginya. Hidup di alam
terbuka yang mana ketika tidur hanya beralaskan akar, menyusuri rawa atau
sungai yang membuatnya ketakutan akan lintah yang menempel di tubuhnya, ketika
malam dating kegelapan serta kesunyian danau di malam hari bagaikan scene film
horror, harus dikejar-kejar oleh beruang dan untuk menyelamatkan dirinya ia
harus naik pohon namun Butet tidak bisa menaiki pohon sampai pada akhirnya ia
dibantu dengan anak-anak rimba yang diajarnya untuk mendorong naik ke atas
pohon dan membantu menghadang beruang mendekatinya. Harus rela terjangkit
malaria selamanya ketika telah digigit oleh nyamuk malaria, ya walau memang
sudah diberikan suntikan terlebih dahulu sebelum mengentaskan buta huruf
tersebut.
Hingga akhirnya kini anak-anak suku Rimba
yang dulu mereka hanya diam ketika terjadi pembalakan liar, kimi mereka dapat
memperingati pembalakan liar dengan hokum dan sudah tahu harus melapor ke mana
jika terjadi tindak criminal, semula ketika orang kota dating untuk meminta cap
jempol mereka dan tanpa mereka ketahui bahwa isinya adalah perjanjian penjualan
tanah, kini anak-anak suku Rimba dapat membaca isi tulisan yang tertera pada
kertas tersebut. Mereka bukan orang yang bodoh, mereka benar-benar belajar
dengan sungguh-sungguh.
Sembilam
tahun lamanya ia menyusuri pedalaman
rimba dan menikmati perannya tersebut di Sokola Rimba. Banyak hal yang ia dapat
dari orang-orang Rimba itu, seperti bertahan hidup di hutan, berburu, mencintai
alam, dan masih banyak lagi. Hingga akhirnya, ia keluar dan kembali ke ibukota
dengan senyum dan kebanggaan. Ia pun menjadi inspirasi beberapa relawan yang
akhirnya bergabung dalam yayasannya, dan hingga kini ia masih meneruskan
perjuangannya. Ia tak pernah lupa bagaimana beruang membuatnya ketakutan,
bagaimana mimpi buruk menghantuinya, bagaimana jantungnya berdegup kencang
setiap malam karena takut ada hewan buas menyerangnya. Namun ia tak ingin
berhenti mewujudkan impiannya, bukan lintah, beruang, harimau atau ular yang
akan menghentikan impiannya, bahkan bukan juga kematian. "Gak keren mati
tidak ada yang mengenang," kata Butet itulah sepenggal semangat Butet.
Setelah
keberhasilannya mengajarkan baca – tulis serta pengetahuan advance kepada anak-anak Rimba di Sokola Rimba Jambi, saat ini
Butet lebih banyak melakukan pelatihan, bergerak di luar masyarakat adat. Butet
sebagai salah satu mentor, selain melakukan pelatihan dan penggalangan dana
tetapi juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kantor di Jakarta sambil sekitar
1-2 bulan per semester pergi ke lapangan.
Kini
Sokola Rimba tersebut telah menjadi sebuah organisasi yang sudah berjalan
selama kurang lebih 14 tahun lamanya, dan kini terus melebarkan sayapnya. Tidak
hanya untuk mengentaskan buta huruf di pedalaman Jambi pada suku Kubu. Kini
dengan adanya visi yang begitu besar Sokola Rimba membuat tempat-tempat paling
terpencil di Indonesia bisa membaca, menulis, dan berhitung terus dikembangkan.
Jambi, Makasar, Flores, Halmahera, Bulukumba, Sekolah Pasca Bencana, Aceh,
Yogyakarta, Klaten, Kampung dukuh telah tersentuh Sokola yang unik dan
sederhana ini.
thanks you :)
BalasHapus